Banyak orang mengira Aceh sudah bebas dari kebijakan dan keputusan pemerintah pusat yang kurang memetingkan rakyat, lalu pemerintah Aceh bisa mengambil kebijakan dan keputusan sendiri, menurut saya itu Cuma mimpi yang bisa dicapai dengan satu kata (merdeka), ini bukan maksud saya untuk mengajak orang-orang Aceh untuk mengangkat senjata kembali, tapi Cuma membangunkan orang Aceh dari tidurnya (ketikdaktahuan tentang UU PA) yang mungkin sudah sangat lama disahkan.
Jika dilihat dari UU PA (Undang-Undang Pemerintahan Aceh) Memang beberapa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Aceh sudah kurang campur tangan Pusat.
Tapi masalah yang sangat merugikan Aceh ialah kenapa kebijakan-kebijakan ekonomi Aceh masih saja ada campur tangan pusat itu yang sangat yang tidak bisa ditolerir dan sangat merugikan rakyat Aceh, salah satu kebijakannya tentang masalah izin Investor yang akan masuk ke Aceh. Mengapa mereka (para investor) harus mendapat izin itu harus melewati tiga departemen yaitu depdagri, depkeu dan departemen dagang & industri , mungkin itu hal yang dapat ditolerir tapi yang parahnya mereka memperlambat keluarnya izin terhadap investor-investor tersebut.
Apakah mereka (pusat) takut dengan Aceh kalo bisa mandiri, atau punya fondasi yang kuat dibidang Ekonomi ? suatu pertanyaan punya dua jawaban berbeda 1. mungkin ya jika ditanyakan kepada rakyat Aceh, 2. mungkin tidak jika kita tanyakan kepada pusat. Mereka takut akan Aceh, jika pertumbuhan ekonomi akan menganggu kesatuan republik Indonesia, Aceh mungkin akan menjadi dasar yang membuat propinsi-propinsi lain meminta ke pusat punya opsi yang sama dengan Aceh.
Ditinjau dari sejarah pada masa Tgk. Daud Beurueh dengan sekarang tidak jauh berbeda mungkin dulu dengan sebuah nama perjuangan reda, sekarang sudah ditambah dengan opsi sedikit yang membuat air liur penjabat-penjabat orang aceh keluar dari mulutnya.
”nama tetaplah nama”
“lain dikata lain dihati”
Itulah dua pepatah yang dapat mengambarkan dua masa antara masa Tgk. Daud Beurueh dengan masa sekarang.
Jika dilihat dari UU PA (Undang-Undang Pemerintahan Aceh) Memang beberapa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Aceh sudah kurang campur tangan Pusat.
Tapi masalah yang sangat merugikan Aceh ialah kenapa kebijakan-kebijakan ekonomi Aceh masih saja ada campur tangan pusat itu yang sangat yang tidak bisa ditolerir dan sangat merugikan rakyat Aceh, salah satu kebijakannya tentang masalah izin Investor yang akan masuk ke Aceh. Mengapa mereka (para investor) harus mendapat izin itu harus melewati tiga departemen yaitu depdagri, depkeu dan departemen dagang & industri , mungkin itu hal yang dapat ditolerir tapi yang parahnya mereka memperlambat keluarnya izin terhadap investor-investor tersebut.
Apakah mereka (pusat) takut dengan Aceh kalo bisa mandiri, atau punya fondasi yang kuat dibidang Ekonomi ? suatu pertanyaan punya dua jawaban berbeda 1. mungkin ya jika ditanyakan kepada rakyat Aceh, 2. mungkin tidak jika kita tanyakan kepada pusat. Mereka takut akan Aceh, jika pertumbuhan ekonomi akan menganggu kesatuan republik Indonesia, Aceh mungkin akan menjadi dasar yang membuat propinsi-propinsi lain meminta ke pusat punya opsi yang sama dengan Aceh.
Ditinjau dari sejarah pada masa Tgk. Daud Beurueh dengan sekarang tidak jauh berbeda mungkin dulu dengan sebuah nama perjuangan reda, sekarang sudah ditambah dengan opsi sedikit yang membuat air liur penjabat-penjabat orang aceh keluar dari mulutnya.
”nama tetaplah nama”
“lain dikata lain dihati”
Itulah dua pepatah yang dapat mengambarkan dua masa antara masa Tgk. Daud Beurueh dengan masa sekarang.
2 komentar:
saya sangat setuju....
lanjut teruss penulisannya
Posting Komentar